Mbah Uti, tetaplah abadi di jiwaku..

Engkau pernah memelukku kemudian berkata “Rid, mengko yen wis gedhe dadi anak sing pinter ya”. Suara itu melekat pada telingaku dan menghangatkan hatiku kala itu. Bahkan aku masih bisa mengingatnya hingga kini. Aku masih kecil kala itu, tapi aku paham bahwa permintaanmu adalah pinta yang luar biasa kepada cucunya. Aku tak pernah menyadari hingga kini, bahwa dari puluhan cucu yang kau miliki ternyata akulah yang paling engkau sayang.


Aku masih ingat siang itu, ketika engkau membawaku menaiki bis kecil untuk mengunjungi saudaramu di desa seberang. Aku tak pernah tahu kalau genggaman tanganmu padaku waktu itu begitu erat. Engkau tak ingin aku melepaskan pegangan kepadamu. Aku pun yang masih terlalu kecil sangat menurut kepadamu.


Waktu berjalan, aku pun tumbuh menjadi remaja. Kehidupan desa yang asri dan menentramkan membuat aku tumbuh dengan budi pekerti yang santun dan tata krama yang sopan. Pun dengan pendidikan di kota, membuat diriku menjadi berpikiran luas dan tentunya modern. Agaknya aku kadang lupa berkunjung ke rumahmu. Tapi sekali berkunjung engkau menyambutku dengan dua ciuman di pipiku. Kadang aku sampai malu dan menolaknya. Tapi aku sadar bahwa itulah cara kamu menunjukkan rasa sayang dan rindumu kepadaku.

Aku memang bertubuh ringkih dan rentan sakit. Kadang dalam satu tahun bisa sakit hingga dua kali. Dan setiap sakit pasti merengek untuk rawat inap di rumah sakit. Pernah suatu ketika, bapak dan ibuk sengaja tidak memberitahumu bahwa aku sedang sakit dan masuk rumah sakit. Lalu ketika aku sudah mulai sembuh dan bisa kembali ke rumah engkau datang membawa banyak oleh-oleh. Lalu memarahi ibuk dan bapak. Yang terpancar di wajahmu adalah engkau menakutkan terjadi apa-apa kepadaku. Lantas bapak dan ibukku hanya was-was jikalau mereka memberitahumu, engkau akan banyak pikiran. Sedang kalaupun aku sakit itu sudah biasa.


Engkau waktu itu pernah sakit, walaupun tidak parah. Aku tahu rumah yang engkau tinggali bersama dua anakmu yang sudah berkeluarga tak begitu nyaman untuk engkau tinggali. Tapi engkau tetap bertahan, hingga kadang ibukku memaksamu untuk tinggal di rumahku. Karena diantara 7 anakmu hanya rumah bapakku lah yang paling bagus. Tapi engkau menolak dengan alasan rumahku terlalu besar dan tinggi. Dan engkau masih merasa nyaman untuk tinggal di rumah gubukmu itu. Itu yang aku dengarkan dari percakapanmu dengan ibukku kala itu.


Hari terus berjalan, aku menjadi anak yang mandiri. Menebus hidup untuk tinggal jauh dari orang tua untuk sekolah. Dan akhirnya pertemuan denganmu hanya sebatas ketika libur panjang bahkan hanya ketika lebaran saja. Tapi aku membuktika doa ampuhmu, menjadi pemuda yang rajin dan cerdas. Hingga akhirnya kelulusan itu datang, dan aku menjadi yang pertama diantara kawan-kawan yang lain. Dan pada akhirnya, aku pun diterima beasiswa full untuk melanjutkan kuliah di Eropa.


Engkau pernah menangisi bahwa kecerdasanku membawaku jauh dari orang tua dan keluarga. Tapi engkau juga selalu bersyukur memiliki seorang cucu yang bisa melalang buana ke negara lain. Tapi ditangismu kurasakan hampa dan ketidakrelaan. Pada bola matamu ada beberapa sisih perasaan yang akupun tak bisa menyebutnya.
Persiapan untuk kuliah di luar negeri menyibukkanku begiu dasyat. Hingga aku melupamu. Hanya melupamu. Sampai akhirnya hari itu tiba, perpisahan antara cucu dengan neneknya. Engkau memelukku, dan berpesan “Hati-hati disana. Doakan nenekmu semoga masih bisa melihatmu. Tapi gatau, apa masih bisa melihatmu apa tidak”. Ucapanmu menggetarkanku. Aku kalut dan hampir tak berdaya. Bahwa ada rasa kehilangan luar biasa yang tak terperikan hari itu.

Pada akhirnya waktu lah yang menjawabnya. Aku berkembang dan menjadi manusia. Di bumi Allah yang lain. Sedang takdir membawamu pada jalan yang berbeda. Engkau sakit tua, bahkan divonis stroke. Bahkan beberapa minggu itu engkau tak sadarkan diri. Bapak hanya bisa melaporkan via chat facebook waktu itu. Tapi dariku hanya ada doa-doa yang mengalir untukmu. Pada akhirnya, yang harus kembali memang tetap akan kembali. Engkau diambilNya, sedang aku tak pernah bisa memeluk dan melihatmu untuk terakhir kalinya. Engkau abadi bersama waktu, dan aku terus mendoamu agar tempatmu adalah syurgaNya. Aku sering merindumu, merindu pelukanmu, merindu ciumanmu pada kedua pipiku dan merindu tentangmu. Kadang air mata tak tertahankan jatuh. Dan doa selalu terpanjat untukmu. Semoga Allah berikan kau SurgaNya yang abadi. Amiin.  

0 comments