Menyusuri lorong-lorong kota Ankara benar-benar membuat hari libur terasa begitu sempurna. Apalagi kalau bukan sebuah kegiatan yang membuat libur terasa begitu berwarna. Karena banyak sekali tempat-tempat baru yang belum saya telusuri di kota ini. Sehingga penasaran itu semakin membuat gejolak-gejolak hati untuk ingin berjalan di sudut-sudut kota tua ini. Walaupun suhu dingin yang menggigilkan tubuh, tapi sejatinya tak membuat sebuah perjalanan siang ini untuk menelusuri lorong kota menjadi tak nyaman. Justru itulah feelnya. Bahwa merasakan tubuh terguyur dingin dengan suhu minus di tengah keramaian itu adalah pengalaman yang tak bisa diungkapkan dengan 26 huruf di abjad Indonesia.
Siang ini saya benar-benar menemukan Indonesia di tengah Ankara. Lorong-lorong yang saya telusuri dengan tapak-tapak kaki ternyata mengahantarkanku di pasar tradisional Ulus, Ankara. Pasar yang membuat diriku benar-benar merasakan sebuah harmoni keIndonesiaan disini. Sebuah pasar tradisional yang disesaki tawar-menawar, penjual yang berteriak dan penuh dengan desak-desakan pembeli. Benar-benar membuat lamunan tentang Indonesia-Turki begitu lengkap. Karena pasar yang saya temui ternyata benar-benar mirip dengan pasar tradisional di daerah saya, Solo.
Saya jadi ingat, perjumpaan terakhir dengan seorang kawan karib saya. Yang saat itu rela mengantarkan saya berdesak-desakan di pasar tradisioan masyhur di kota Solo, Klewer. Hanya untuk mencari souvenir dan barang khas solo sebelum saya berangkat ke Turki. Waktu itu, hampir saja kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyusuri desakan pembeli di toko-toko batik dan pakaian jawa. Dan tak kami temukan souvenir disana untuk dibawa ke turki. Mana mungkin saya membawa berlipat-lipat kain batik untuk hadiah seorang teman saya di Turki nanti. Begitulah pikir saya. Sehingga, akhirnya kami menemukan seorang penjual blangkon. Yang kemudian saya mengambil 2 untuk nanti yang satu akan saya berikan ke seorang teman di Turki. (Tapi sampai saat ini, blangkon itu masih tersimpan di dalam almari biruku). Kemudian perjalanan menyusuri kota tua solo itu terhenti di Museum manusia purba, Sangiran. Ah, terimakasih untuk perjuangan siang panas itu kawan.
Siang ini pun begitu, tujuan saya dengan salah seorang kakak tingkat adalah mencari souvenir turki. Eh, tapi tak ada yang kami temukan disana. Untungnya perjalanan itu mengantarkan kami menemukan rahasia Ankara. Sebuah pasar tradisional yang sangat jarang saya temui di negeri makmur seperti ini. Sekali lagi, saya ingat dengan petuah Imam syafi'i. Berpetualanglah engkau, pasti kau kan temukan orang-orang yang kamu tinggalkan. Ya, saya menemukan pasar tradisional itu juga disini. Benar-benar menakjubkan. Bahwa dunia itu tak hanya bisa kita lihat dari jendela benua sana. Tapi juga dari ujung benua sini. Maka saya benar-benar percaya, bahwa berkelana itu memberi sebuah pencerahan jiwa. Karena pelajaran hidup tak hanya ada dibuku-buku para profesor, atau di karya para ilmuan. Tapi pelajaran hidup itu juga berada di sekitar kita sendiri.
*Ambillah hikmah dari segala peristiwa yang terjadi di sekitarmu. Karena hikmah itu tak bisa kita dapatkan kalau kita hanya diam dan tak merespon peristiwa di sekitar kita.
Pasar Tradisional Ulus, Ankara.
15.12.13
0 comments