Pagi hanya pagi, siang tetap siang, malam juga menjadi
malam. Tapi, kalau hari ia berubah minggu, minggu berubah bulan, hingga bulan berganti tahun. Pun dengan yang namanya sebuah kehidupan, refleksinya tak sekadar refleksi lukas penuh diam. Ia bagaikan harian, mingguan, bulanan hingga tahunan yang terlewat dalam barisan waktu. Tak seperti pagi, malam dan siang yang sekedar berlalu tanpa hitungan. Adakah hitungan untuk sebuah pagi ? Atau angka untuk sebuah siang malam yang berlalu penuh kenangan ? Ia tak pernah ada, tapi kalau hari, minggu, bulan dan tahun ia tercatat rapi dengan hitungan penuh yang tak pernah kita tau kenapa bentuknya huruf satu tegak berdiri, angka dua seperti angsa dan seterusnya. Intinya hidup itu sebenarnya sebuah hitungan. Hidup itu ada batasan, dan hidup itu penuh dengan angka. Tapi sekali lagi, saya bukanlah seorang ahli hisab atau ahli hitung yang seharian bergelut dengan angka dan hitungan penuh kebingungan. Saya hanya seorang farid, yang dulu pernah menjabat bendahara umum yang bergelimang uang jutaan dengan kalkulator kecilnya. Tapi angka, hitungan, uang dan sejenisnya itu hanya titipan. Tapi filosofis itu juga bak kehidupan yang penuh hitungan. Ia hanya titipan yang perlu tanggung jawab.
Tulisan ini sebenarnya motivasi untuk tetap hidup dalam kurun hitung yang singkat itu. Nah, apakah itu ? ialah menulis. Menulis itu adalah sebuah proses memperpanjang umur kita. Maksudnya ? Menulis itu membuat umur yang terbatas angka bagi kita leih panjang dari batas itu. Karena dengan menulis akan tetap ada kita walaupun batasa umur itu telah usai sudah. Menulis itu memanjangkan itu, apalagi dengan yang namanya karya tulis buku. Ia akan membuat keabadian hidup yang nyatanya hanya terbatas angka. Ia membuat warna dalam hidup penuh jingga. Ah, namun kita tentu tak lupa dengan hadits yang menyebutkan bahwa tanda-tanda hari kiamat salah satunya "menyebarnya dunia tulis menulis dan buku". Kenapa ia demikian ? Karena, akhir-akhir ini ilmu tak pernah langsung di ambil dari seorang guru secara berhadapan. Namun ia tercatat dalam lembaran kertas, tapi sejatinya saya sendiri sudah cukup muak untuk mengatakan bahwa kita memang terlahir dari orang tua yang pernah mengenyam yang namanya hidup akhir zaman. Nah hlo, maka tak perlu khawatir bagi kita karena kita telah nyata dalam dunia akhir.
#cukup, aku harus menutup tulisan penuh intrik ku ini. Aku telah jenuh dengan bahasa tiada dua yang tak pernah aku pikir akar temanya. Aku hanya ingin menggerakkan jemariku malam ini dalam heningan kota. Aku hanya bisa menembus satu inti, Bahwa aku akan tetap menulis, aku akan tetap berada dalam bilik-bilik kertas penuh coretan, aku siap menjadi juru tulis yang memiliki ribuan karya yang bermanfaat. Bismillah, semoga Allah ridho kepadaaku dan kepada kalian. Amiin.
Ia kertas penuh tanya
Ia tak tersentuh duri luka
Tapi, aku menuliskannya cerita indah dibalik nyala
Aku tulis nama orang
Aku tulis kehidupan
Aku tulis rasa
Aku tulis mimpi
Hingga aku temukan ia penuh coret
Coret yang mengartikan aku penuh cinta
Ankara, Turki.
0 comments