Anak Kecil dan Sebuah Perpisahan




Hari itu langit kota ankara mendung, sejak sedari malam mendungnya sudah bergelayut di langit yang biasanya cerah itu. Nampaknya langit juga merasa akan ada sesuatu yang hilang di Ankara. Ia seperti tau bahwa di antara penduduk negeri seberang benua ini ada seorang yang tergagap menangis di pojok kamarnya sejak malam itu. Langit seperti bisa merasakan hal yang sama dirasakan oleh anak kecil itu. Anak kecil itu menangis karena temannya yang harus kembali bersama orangtuanya ke rumah asalnya di tempat yang ia tak bisa melafalkannya dengan baik. "Endosia", ia hanya bisa mengeja tempat itu sekena lidahnya mengeja. Ia pun tak pernah tahu berapa lama teman itu di tempat asalnya nanti. Dan apakah ia akan kembali kesini, iapun tak pernah mengerti. Makanya anak kecil itu sesegukan dalam airmata kecilnya yang menetes deras. Sepertinya ia ingin melaporkan apa yang ia rasakan itu pada orang tuanya. Namun, ia berpikir bahwa orang tuanya tak pandai mengerti perasaan anak-anak. Dunia anak-anak selalu berbeda dengan dunia orang dewasa yang menjenuhkan. Makanya ia hanya bisa menangis sepanjang malam kemarin sendirian.

**

Malam kemarin itu ia menangis sendiri, ia menangis ditemani bantal empuknya, selimut tebalnya, dan gelapnya kamar yang sudah dimatikan. Tapi anak kecil itu tak mau sedikit pun menutup korden di jendela kamarnya. Walaupun suhu Ankara di malam hari yang minus, tapi ia senang melihat langit dari balik jendela yang tebal itu. Ia seperti bisa berbicara pada langit, sehingga langit nampak begitu terharu mendengar kisah si anak kecil itu.

Seketika, ia nampak begitu menikmati malam itu dengan sedu airmatanya. Tapi ia tetap saja adalah seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Bahkan sejatinya, ia tak pernah mengerti apa itu arti sebuah perpisahan. Apa itu arti sebuah pertemanan. Yang ia mengerti hanyalah, ia bisa bermain bersama kawannya itu dengan tawa yang lepas. Ia bisa berbagi cerita tentang rumah neneknya di kampung yang indah. Ia juga bisa berbagi permen asam manis yang ia beli dengam rengekan meminta uang kepada bapaknya beberapa koin lira. Ia benar-benar masih seperti anak kecil seumuranmya yang belum bisa mengerti apa arti dari perjumpaan dan perpisahan. Namun, si anak kecil itu tau kalau perpisahan adalah suatu yang bisa menjadikan airmatanya meleleh deras di iringi sesegukan tangis seperti malam itu.

Anak kecil itu akhirnya terlelap tidur. Mungkin airmatanya seperti lem bagi matanya yang sendu, sehingga ia secepat itu bisa tertidur pulas. Ya, tidurnya begitu lelap sehingga ketika ibunya masuk ke dalam kamarnya ia tak sekalipun menyadari itu. Ibunya kemudian duduk di ranjang kecilnya sembari mengelus kepalanya dengan lembut dan berkata pelan, "Nak, kami usai mengantar temanmu sekeluarganya di terminal kota. Dan Ibu tau apa yang kau rasakan saat ini sayangku. Kau tak kami ajak karena jika kau kami ajak, pasti rengekan tangismu akan membuat acara malam ini berantakan. Percayalah anakku, Kau pasti akan bertemu dengan temanmu itu lagi suatu saat nanti. Di saat kau benar-benar sudah memahami arti dari perjumpaan dan perpisahan. Disaat kau sudah mengerti manakah yang baik dan buruk. Disaat engkau mengerti arti dari pertemanan dan persahabatan hakiki. Aku mencintaimu nak." Kemudian ibunya keluar kamar dengan airmata yang meleleh.

Dalam tidur yang lelap itu ternyata si anak sedang masuk dalam dunia bunga tidurnya. Si anak ternyata sedang bermimpi bermain dan berlari-larian bersama temannya yang akan pergi itu di taman depan rumahnya pada siang yang terik. Tapi mimpi itu seketika menjadi aneh. Tiba-tiba di siang itu ia mendengar suara orang dewasa yang berkata, "Matahari akan gerhana, maka shalat sunnahlah gerhana". Seusai mendengar suara itu tiba-tiba cahaya matahari nampak padam perlahan. Ia sempat melihat langit dengan matahari bulat yang seakan nampak tertutup sesuatu. Langit yang terik seketika menjadi gelap dalam waktu yang singkat. Maka si anak takut dan memegang tangan teman baiknya itu, dan si teman dengan langsung mengajak si anak kecil bersujud di rerumputan hijau taman itu. Mereka adalah anak-anak yang polos. Belum begitu paham detail dari sholat harian yang biasa di kerjakan oleh kedua orang tuanya. Mereka hanya tau tentang sujud yang kadang mereka bermain meminta gendong bapaknya di masjid bawah tanah. Mereka masih dalam sujudnya, mereka sangat khusyu bersujud. Namun si anak kecil itu sedikit ingin melihat matahari Ankara yang biasanya bersinar cerah, kenapa tiba-tiba padam. Ia bertanya pada dirinya, apakah matahari itu minyaknya habis. Dam pertanyaan seperti anak-anak umumnya. Ia tak sempat menemui matahari itu kembali bersinar, atau karena tidurnya yang terusik sehingga mimpinya perlahan kabur dan hilang tanpa ia melihat matahri bercahaya seperti sedia kala.

Anak tak pernah tau bahwa itu adalah mimpi perpisahan dengan temannya. Ia sangat tidak tau sebenarnya mimpi itu memiliki arti yang entah kapan akan terkuak. Bukan soal gerhana matahari di kota metropolit itu. Bukan juga soal tangisnya malam itu bersama mendung di langit ankara. Tapi, tentang kawannya yang sempat menjadi matahari hidupnya. Ia telah menemukan matahari itu padam, dan entah bagaimana ia akan menemukan cahaya matahari itu bersinar lagi seusai ia merampunkan sujud panjangnya. Ia tak pernah melihat matahari bersinar dalam mimpinya malam itu, entahlah.

**

Si anak kecil kemudian terbangun dari tidurnya, ternyata di luar sinar matahari menembus kaca kamarnya yang bersih. Tapi awan mendung itu sudah menjadi rintik kecil di luar sana. Rintik itu membasahi tapak jalan yang panjang di kota Ankara, rintik itu juga membasahi rumput hijau di depan rumahnya. Rintik itu juga membasahi terminal besar di ujung kotanya. Ia hanya bisa melupakan sejenak kepergian kawannya itu hari ini dengan melihat rintik itu. Entahlah, ia tetap tidak tau apakah ia bisa bertemu dengannya lagi suatu saat nanti. Yang jelas ia langsung berlari menuju ruang makan untuk menyantap hidangan ibunya, yang selalu ia anggap masakan paling enak seantero dunia.

Selamat Jalan Cinta

Cinta itu tidaklah semu,
Cinta itu tanpalah batas, Cinta itu...
Ah, Andai kemarin aku bisa menemui mu secepat aku berlari menuju kampus TOMER ku
Tapi,
Ternyata aku benar terlambat mereaksikan senyawa atom dan partikel cinta,
dalam larutan senyawa asam basa yang tak kutau masih engkau ingat atau lupa..
Aku sudahlah terlambat untuk kembali meniupkan uap,
dalam kabut yang tak pernah kurasa di malam yang panjang.

Aku benar sesali pertemuan singkat dalam pertiga waktu itu
Bahkan belum sempat kau ukir pustaka dalam bilik lembar harimu

Aku bukanlah siapa,
Akupun bukan semesta yang mencintai jagat rayanya
Aku juga bukan yang engkau cari dalam hingar bingar kota tua
Namun,

Akulah yang pernah mencarimu, cinta..
Akulah yang sebab menangis saat kisahmu mendebarkan jiwa
Akupun yang bersujud panjang ketika,
kau bilang darahmu mengucur dalam sakit yang berkepanjangan
Aku jugalah yang ingin memberi disaat kau merasa rintihan hidupmu bertambah luka

Cinta,
Kini kau akan pulang dalam gelisah yang pernah kau redam dalam dzikir cintamu
Engkau telah bersiap menjalani kebaruan yang tak pernah kau pikir
Cinta,
Pertemuan singkat itu tak pernah ku rencanakan
Kerinduan panjang itu tak pernah aku pinta
Bahkan, sebuah cinta itu.. tak aku ingini begitu saja
Karena ternyata ia datang secara tiba
Ia datang dalam sempurna..

Cinta,
Selamat menjalani dunia baru yang penuh tanya..
Cinta,
Selamat meninggalkan duniamu yang penuh luka
Cinta,
Selamat menempuh kehidupan lagi..
Yang tak pernah kau tau kapan akhirnya
Cinta... Aku penuh cinta kepadamu
Karena ukhuwah Kepada-Nya..

Ankara penuh tangis peluk cinta.
09-02-2014

0 comments